FRASA.ID, TENGGARONG-Di balik bayang-bayang ekskavator dan truk tambang, Desa Embalut, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara diam-diam menyalakan obor perubahan.
Dari kolam-kolam sunyi yang digali tangan warga sendiri, lahir gelombang ekonomi baru: ikan-ikan segar yang saban malam melaju ke pasar, memberi napas segar bagi dapur-dapur di Kukar.
Dari sebuah desa yang dulu dikenal karena tambangnya, kini Embalut menjelma menjadi lumbung ikan air tawar.
Produksinya mencapai 2 ton per hari—angka yang mengejutkan, namun nyata. Kolam-kolam warga bukan lagi sekadar ladang uji coba, tapi mesin penggerak ekonomi desa.
“Kami kirim ikan tiap malam. Produksi stabil. Saat desa lain panik karena penyakit ikan, di sini alhamdulillah aman,” ujar Yahya, sang Kepala Desa, dengan nada penuh keyakinan, Senin (17/3/2025).
Bagi warga Embalut, budidaya ikan bukan pelarian karena tambang melemah. Justru sebaliknya—perikanan adalah warisan yang tumbuh bersama semangat kemandirian mereka.
Ketika banyak desa menanti nasib pascatambang, Embalut sudah lebih dulu membangun jalannya sendiri.
Pendapatan bersih Rp15 hingga Rp30 juta per bulan bukan impian. Bagi yang serius dan tekun, angka itu bisa dicapai dari hasil panen yang konsisten dan pengelolaan keramba yang rapi.
“Dulu saya bercita-cita punya 60 keramba. Bukan karena rakus, tapi karena saya yakin desa ini bisa besar dari ikan, bukan batu bara,” ucap Yahya sambil tersenyum.
Tentu, jalannya tak selalu mulus. Serangan penyakit seperti Bangar dan KHP mengintai, menghancurkan usaha petani ikan di wilayah lain.
Tapi tidak di Embalut. Di sini, ada ‘ilmu lapangan’ yang diwariskan turun-temurun. Teknik pengendalian yang bahkan, menurut Yahya, belum tentu dipahami profesor sekalipun.
“Kami uji sendiri, coba sendiri. Hasilnya? Di saat daerah lain kolaps, kami tetap panen,” katanya bangga.
Yang menarik, perikanan di Embalut tumbuh murni dari kesadaran warga. Tanpa menunggu pasca-tambang, tanpa ketergantungan lahan reklamasi. Air bersih, lahan yang tersedia, dan kemauan belajar menjadi modal utama.
Kini, banyak warga yang dulu bekerja di tambang memilih memutar arah. Dari helm tambang ke jaring ikan. Dari kerja shift malam ke panen harian. Dan mereka tidak menyesal.
“Dulu saya bilang, jangan hanya berharap pada tambang. Belajar usaha sendiri. Dan sekarang, terbukti,” tutur Yahya, matanya menatap jauh, seolah melihat masa depan cerah desa yang dipimpinnya.
Langkah ke depan? Yahya tak ingin berhenti di ikan segar. Ia bermimpi ada abon ikan, kerupuk gurih, atau olahan kreatif lainnya dari tangan-tangan warga Embalut. Hilirisasi perikanan, katanya, adalah bab selanjutnya.
“Kita punya semua modal: produksi, kemauan, dan semangat. Tinggal satu: kekompakan. Kalau ini bisa dijaga, Embalut bisa jadi sentra perikanan yang dikenal bukan cuma di Kukar, tapi di seluruh Kalimantan.”
Hari ini, Embalut telah menulis ulang takdirnya. Dari desa tambang menjadi desa ikan. Dari ketergantungan menjadi kemandirian. Dan dari sekadar bertahan, menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di negeri ini.(ADV/DISKOMINFOKUKAR)





