FRASA.ID, KUTAI KARTANEGARA-Asap belum sepenuhnya hilang dari puing-puing rumah yang hangus, tapi bara semangat untuk melindungi keselamatan warga sudah menyala di Kelurahan Melayu.
Tragedi kebakaran yang melalap tiga rumah akibat petasan liar menjadi titik balik: perayaan tak boleh lagi dibayar dengan duka.
“Ini bukan sekadar razia. Ini adalah misi penyelamatan,” tegas Lurah Melayu, Aditiya Rakhman, dengan nada penuh tekad, Jumat (21/3/2025).
Bersama Satpol PP Kukar, Bhabinkamtibmas, Babinsa, dan Forum RT, pemerintah kelurahan langsung menggelar operasi terpadu. Enam titik penjualan petasan disisir.
Hasilnya: puluhan petasan berkekuatan tinggi disita, dan para pedagang diberi peringatan keras. Tak ada lagi ruang untuk kelalaian yang bisa membakar kampung sendiri.
“Kami tidak melarang perayaan. Tapi yang kami lawan adalah ketidaksadaran. Sebatang petasan bisa berubah jadi percikan bencana,” ujar Awang Indra, Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Kukar.
Petasan—yang kerap dianggap bagian dari tradisi Lebaran—ternyata menyimpan potensi malapetaka jika disalahgunakan. Apalagi, banyak di antaranya dijual bebas tanpa izin, dan tidak sesuai standar keamanan yang ditetapkan dalam Perda 85/2013 serta Perkapolri 2/2008.
Razia bukan hanya soal hukum. Ini tentang menyelamatkan anak-anak yang bermain di gang sempit. Tentang menjaga orang tua dari kehilangan rumah yang dibangun bertahun-tahun. Dan tentang mengubah pola pikir: bahwa euforia tak harus memicu bencana.
Lebih jauh, Kelurahan Melayu bergerak membangun benteng kesadaran jangka panjang. Edukasi ke sekolah, penyuluhan kepada orang tua, dan kolaborasi dengan tokoh masyarakat tengah disusun.
Semua demi satu tujuan: menjadikan keselamatan sebagai budaya, bukan sekadar kewajiban. “Kami ingin warga tidak hanya patuh karena takut dirazia, tapi sadar bahwa satu ledakan bisa merenggut banyak hal,” kata Aditiya.
Tragedi telah terjadi. Tapi di balik abu yang tersisa, tumbuh tekad baru: menjaga kampung, mengawal tradisi dengan bijak, dan merayakan hari besar tanpa mengorbankan rasa aman.
Kelurahan Melayu kini tidak hanya bicara soal penindakan, tapi soal transformasi. Dari budaya permisif, menuju kampung yang peduli dan waspada. Karena ketika satu petasan bisa membakar tiga rumah, maka satu gerakan bersama bisa menyelamatkan ratusan jiwa.(ADV/DISKOMINFOKUKAR)