Sejarah Kantor SMSI, Pergulatan di Ring Nol: Dari JP Coen, DN Aidit, Hingga Firdaus

NASIONAL – Siapa sangka, gedung tua di Jalan Veteran II No. 7C, Jakarta Pusat, yang kini menjadi Kantor Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat, menyimpan kisah misteri sekaligus sejarah panjang yang tak banyak diketahui publik. Ceritanya seru, menegangkan, bahkan terasa seperti menonton film thriller bercampur horor—penuh intrik politik, pergulatan ideologi, dan aroma perjuangan bangsa.

Menelusuri sejarahnya, kita seperti diajak bertamasya ke masa-masa genting perjalanan negeri ini. Di balik temboknya yang kokoh, terpatri jejak pengorbanan, intrik kekuasaan, hingga dinamika besar yang membentuk Indonesia hari ini. Mengetahui kisahnya membuat kita semakin paham bahwa menjadi bangsa besar tidak lepas dari pergulatan panjang, sekaligus mengajarkan pentingnya saling menghargai keberagaman sebagai modal sosial bangsa.

Malam Rapat yang Penuh Cerita

Kamis malam, 15 April 2021, suasana di lantai dua kantor SMSI yang telah berusia ratusan tahun itu tampak ramai. Ketua Umum SMSI, Firdaus, menyambut tamu-tamu penting dengan hangat dan tawa lepas. Hadir di antaranya Deden Ridwan (penulis, produser, sekaligus CEO Reborn Initiative), Salman el-Hakim (Ketua Umum Masyarakat Sepak Bola Indonesia), dan Erris Julietta Napitupulu (Sekretaris SMSI Sumatera Utara sekaligus Managing Direktur SIN.co.id).

Baca juga  Otorita IKN Perkuat Langkah Pencegahan Tindak Pidana di Hunian Pekerja Konstruksi IKN dengan Sosialisasi Terpadu

Firdaus didampingi jajaran pengurus pusat: M. Nasir (Sekjen), Yono Hartono (Wakil Sekjen Bidang Internal), dan Heru Siswanto (Wakil Sekjen Bidang Eksternal). Mereka berkumpul di ruang rapat yang mempertahankan aroma klasik khas gedung lama. Beberapa aksesoris ruangan, pintu, dan ornamen kayu masih asli sejak masa kolonial.

Rupanya, malam itu bukan sekadar buka puasa bersama. Ada agenda istimewa: rapat membahas rencana pembuatan buku dan film dokumenter berjudul “Pergulatan di Ring Nol: JP Coen, DN Aidit, hingga Firdaus”.

Firdaus menjelaskan bahwa karya tersebut akan mengungkap secara lengkap sejarah gedung yang kini menjadi markas SMSI, termasuk misteri-misteri yang mengitarinya. “Gedung ini menyimpan jejak pergulatan intelektual, politik, dan ideologi yang sangat menarik dan menentukan perjalanan bangsa,” ujarnya.

Jejak Sejarah di Ring Nol

Jalan Veteran II, tempat gedung ini berdiri, dikenal sebagai “Ring Nol” karena berada hanya sepelemparan batu dari Istana Negara—pusat kekuasaan Republik Indonesia. “Apa yang terjadi di gedung ini getarannya bisa sampai ke istana, begitu juga sebaliknya,” canda Firdaus.

Baca juga  Menata Keanggotaan, SMSI Samarinda Buka Pendaftaran Ulang Jelang Musda Kaltim 

Dari catatan sejarah dan penuturan saksi hidup, gedung ini pernah menjadi markas Marsose, polisi rahasia Hindia Belanda. Di sini, operasi intelijen dilakukan untuk mengawasi dan menekan pergerakan pribumi. Namun, ironisnya, Gubernur Jenderal JP Coen, salah satu tokoh penting VOC, justru tewas dibunuh warga tak jauh dari lokasi ini.

Memasuki era Revolusi 1945, gedung ini direbut oleh Central Committee PKI di bawah pimpinan DN Aidit. Di sinilah rapat-rapat strategis partai berlangsung, termasuk perencanaan pemberontakan PKI Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965.

Pasca peristiwa G30S, gedung ini diambil alih Kodam Siliwangi, lalu diserahkan ke Kodam Jaya pada 1966 ketika Mayjen TNI Amir Machmud menjabat Pangdam. Kodam Jaya kemudian menyerahkannya kepada Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, yang lantas memberikan gedung ini kepada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat di masa kepemimpinan Harmoko.

Baca juga  Menkumham Promosikan Kebebasan Beragama Indonesia di Hadapan Anggota Parlemen Inggris

Dari PWI, gedung ini kemudian beralih ke SMSI pada masa Ketua Umum PWI Margiono, hingga kini digunakan SMSI di bawah kepemimpinan Firdaus.

Dari Masa ke Masa, dari Generasi ke Generasi

Rapat malam itu, ditemani Sate Padang hangat, berlangsung seru. Ide-ide mengalir deras, hingga disepakati bahwa Deden Ridwan akan menjadi penulis buku sekaligus produser film dokumenter tersebut.

“Pergulatan di Ring Nol” diharapkan bukan hanya menjadi karya sejarah, tetapi juga dokudrama yang memotret setiap fase penting gedung ini—dari masa kolonial, revolusi, pergolakan ideologi, hingga menjadi pusat pergerakan media siber nasional.

Bagi Firdaus, inilah warisan sejarah yang harus dirawat dan dibagikan kepada publik. “Ini bukan sekadar cerita gedung, tapi cerita bangsa,” tegasnya.

Dan kini, publik tinggal menunggu—dengan rasa penasaran—bagaimana kisah JP Coen, DN Aidit, dan Firdaus bisa terhubung dalam satu garis sejarah di sebuah gedung tua di jantung ibu kota.

Bagikan: